Rabu, 23 November 2016

Guru Transformer dan Kepala Sokalah pro-Kemapanan

Professor saya bercerita tentang kepala sekolah sebuah SD di Takahama yang ditemuinya tatkala menjalankan tugas sebagai konsultan sekolah.  Sang kepala sekolah adalah tipe orang yang seperti saya sebutkan dalam  tulisan saya yang lalu,  orang yang berjiwa ii kagen da to ii wake bakari, yaitu orang yang  pesimis,  selalu menganggap anak buahnya tidak bisa  apa-apa, dan siswa-siswanya  malas belajar, tanpa pernah mengecek kebenarannya.
Untuk kepala sekolah yang seperti itu, maka sangat sulit mengubah kondisi sekolah untuk menjadi lebih baik. Saya teringat dengan cerita teman-teman yang pulang dari teacher training di Jepang, banyak dari mereka yang menghadapi masalah dengan atasan, tapi ada juga yang beruntung berhadapan dengan kepsek yang berjiwa anti kemapanan.
Bahwa kemajuan sekolah sangat tergantung dengan ujung tombak pimpinannya sudah tidak bisa kita bantah lagi.  Banyak contoh yang membuktikan bagaimana sekolah yang berada di daerah marjinal bisa maju karena kecerdasan kepemimpinan kepala sekolahnya.
Untuk mencetak kepala sekolah yang berjiwa reformis, maka kita harus ketat dengan prosedural  pemilihan dan pengangkatan kepsek.  Jika saat ini sertifikasi baru dijalankan untuk guru pengajar, maka sertifikat untuk administratur sekolah juga perlu dikembangkan sesegera mungkin.  Setelah sertifikasi diberlakukan untuk kepala sekolah, maka sistem evaluasi kinerja kepsek yang dinilai berdasarkan penilaian pihak dalam dan luar sekolah pun harus ditegakkan.
Menghadapi sekolah yang mempunyai masalah ketidakharmonisan antara kepsek dan guru-gurunya, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah mengundang pihak ketiga atau konsultan dari luar sekolah.  Sebenarnya proses pengembangan organizational behavior atau organizational learning bisa berjalan jika semua komponen sekolah `on` untuk hal ini.  Tetapi jika tidak, maka pihak ketiga akan melihat kondisi sekolah dengan lebih jeli.
Mengundang pihak ketiga ke lingkungan sekolah bisa terlaksana atas inisiatif kepsek atau dewan guru, tetapi jika keduanya tidak merespon atau peka dengan masalah, maka sistem harus dibuat oleh pemerintah untuk  melegalkan konsultasi rutin ke sekolah-sekolah.
Sistem memang bukan cara yang terbaik untuk memecahkan masalah, apalagi sistem yang top down, tetapi ada karakter yang bisa berubah karena sistem, dan ada juga yang tidak. Sehingga sekalipun sistemnya bagus, tetapi pelakunya tidak komit maka, proses pun tidak akan berjalan sesuai tujuan.
Tetapi kepala sekolah yang pro kemapanan adalah manusia juga, yang seperti dikatakan oleh Rasulullah SAW, mengubah tabiat manusia ibaratnya seperti tetesan air yang jatuh ke sebuah batu hingga batunya cekung.  Tidak ada manusia yang tidak bisa berubah.  Hanya prosesnya yang mungkin tidak sama.
Kepala sekolah yang pro kemapanan dan guru yang berjiwa reformer adalah pasangan klop yang bisa saling mengisi kekurangan, asalkan keduanya diberi wewenang berbicara dan bertindak sesuai kapasitasnya.  Pendekatan perubahan diri/karakter kadang-kadang tidak bisa berubah melalui rapat formal dewan guru, tetapi pendekatan `kemanusiaan` melalui kunjungan dan silaturahmi adalah salah satu pendekatan.
Jika guru reformer berniat mengubah sikap status quo kepsek dengan cara ini, maka yang akan didapatkan melalui program silaturahmi adalah mengenal watak dan kehidupan sosial si target.  Seperti yang pernah saya tuliskan juga, bahwa pendapat,karakter,pemikiran seseorang diwarnai oleh latar belakang kehidupan sosialnya, rumah tangganya, dan pendidikan yang dia tempuh, lingkungan dia dibesarkan dan dididik, maka pendekatan silaturahmi akan membawa kita kepada jawaban kenapa kepsek pro kemapanan, dan bagaimana mencari solusi untuk membantu beliau kepada orang yang anti kemapanan.
Sekolah untuk mencapai kemajuan tidak perlu fasilitas dan uang yang banyak, tetapi yang dibutuhkan hanya komitmen yang besar untuk maju dari komponen-komponennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar