Rabu, 23 November 2016

Agama sebagai kolektifitas


Oleh : Ahmad Walid

agama  dan budaya merupakan realita sosial yang terjadi di sebuah masyarakat, karena kedua entitas ini memiliki posisi saling memengaruhi yang disebabkan nilai dan simbol. Agama memerlukan sistem simbol dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Namun keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, dan abadi sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagaimana agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Keberagaman agama merupakan realitas empiris yang tercipta di luar otoritas manusia. Ia lahir dari proses alamiah dan sunatullah. Kelahirannya bersifat sosiologis dan tidak dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam konteks yang berbeda. Dalam memahami keberagaman agama ada beberapa hal yang perlu diperjelas.

Pertama, keberagaman tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Kedua, keberagaman harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang menunjuk kepada suatu realita, yakni ketika aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.
Ketiga, konsep keberagaman tidak dapat disamakan dengan relativisme yang berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.
Keempat, keberagaman agama bukanlah sinkritisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah apabila konsep keragaman agama hendak diterapkan dalam kehidupan sosial budaya. Oleh karena itu, syarat yang terpenting adalah komitmen yang kokoh memegang ajaran yang dianutnya.
Persoalan keragaman jelas berdampak signifikan terhadap kebudayaan yang ditimbulkan dalam aktivitas sosial-multikultural. Jika persoalan umum yang dihadapi dalam keberagaman agama adalah keterbelahan dan ambiguitas, yang menyertai kehidupan manusia, yang merupakan bagian inheren dalam aspek modernitas maka kebudayaan yang tercipta dan berlangsung cenderung kaku dan lebih mengedepankan sikap kepentingan dalam personal.
Kebudayaan yang lahir di indonesia tidak lepas dari wajah Islam yang hadir secara turun temurun baik tradisi atau cara menyikapi dalam berbagai hal. Sama seperti Islam di Arab Saudi, arabisme dan islamisme bergumul sedemikian rupa dikawasan timur tengah sehingga kadang kadang sulit membedakan mana yang nilai islam dan mana simbol budaya arab. Islam datang ke indonesia dengan cara begitu elastis dan adaptif. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol simbol islami (baca: bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan . demikian juga dalam sosialisme ajaran nilai-nilai islam. Para pendakwah dulu memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran islam kepada masyarakat yang heterogen nilai budayanya (setting sosial). Tercatat dalam sejarah wali songo dalam menyebarkan ajaran islam di tanah jawa, islam di sampaikanditak serta merta dalam bungkus arab, melainkan dengan racikan dan kemasan yang bercita rasa jawa
Kidung kidung bernafaskan islam banyak dipraktikkan dalam perjalanan dakwah sunan kalijaga dalam menyampaikan ajaran islam, media-media alternatif khas daerah setempat juga sunan bonang perlihatkan untuk mengisi kultur berbasis agama yang beliau ajarkan dalam perjalanan dakwahnya. Meminjam pendapat mohammad sobary dalam bukunya pengantarsejarah dakwah, dakwah islam di Jawa pada masalalu memamng lebih banyak ditekan kan pada aspek esoteriknya, karena orang jawa punya kecendrungan memasukkan hal hal ke dalam hati, yaitu rasadan budi. Inimemberikan pembelajaran kepada kita bahwa islam di masa lalu memiliki kecendrungan yang bersifat sufistik. Islam ditawarkan bukan hanya dengan Teach (mengajarkan) tapi juga lewat Touch (menyentuh) yang berlangsung tidak sebentar karenainiberhubungan langsung denga kebiasaan yang berefek kepada perubahan cara berfikir (habits of mind).
Demikian pula denga ritus-ritus seperti ruwahan, tahlilan, rebanaan. Wujud yang ditimbulkan tentunya tidak terlepas darilatar belakang kebudayaan itu sendiri. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbol simbolpengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna subjektifdari pelakunya. Tindakan seperti ini merupakan manifestasi syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden danimanen.
Dalam kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, haruslah dikongkritkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) dan itu di ajawantahkan dalam bentuk dzikir kolektif yang sangat kentara hingga kebudayaan memunculkan tahlilan yang di dlamnya melekat nilai ajaran islam.
Keberadaan islam di nusantara dengan keragaman budaya dalam masyarakat telah banyak dijadikan media dalam pendekatan dakwah. Keterkaiatan dakwah islam dangan kultur sangat erat karena ajaran islam telah menjadi bagian budaya, sedangkan budaya diadopsi oleh islam untuk diluruskan praktik pelaksanaannya berdasarkan hukum syariat islam.

Bahan Bacaan
Ahmad Shobiri Muslim “pluralismeagama dalam perspektif negaradan islam” dalam jurnal Madania (1985)
Nurcholish Madjid “cendikiawan dan relegiusitas masyarakat” paramadina (1999)
Robert N bellah “bayond belief essay on religion in a post tradisionalist word” california university press (1991)
Amir mahmud “islam dan realitas sosial” edu indonesia sinergi (2005)
Rahmat ramdhani “dakwah kultural masyarakat lembak bengkulu” LPPM IAIN Bengkulu (2015)
M jakfar puteh “dakwah di era globalisasi” AK Group (2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar