Rabu, 23 November 2016
Agama sebagai kolektifitas
Oleh : Ahmad Walid
agama dan budaya merupakan realita sosial yang terjadi di sebuah masyarakat, karena kedua entitas ini memiliki posisi saling memengaruhi yang disebabkan nilai dan simbol. Agama memerlukan sistem simbol dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Namun keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, dan abadi sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagaimana agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Keberagaman agama merupakan realitas empiris yang tercipta di luar otoritas manusia. Ia lahir dari proses alamiah dan sunatullah. Kelahirannya bersifat sosiologis dan tidak dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam konteks yang berbeda. Dalam memahami keberagaman agama ada beberapa hal yang perlu diperjelas.
Guru Transformer dan Kepala Sokalah pro-Kemapanan
Professor saya bercerita tentang kepala sekolah sebuah SD di Takahama yang ditemuinya tatkala menjalankan tugas sebagai konsultan sekolah. Sang kepala sekolah adalah tipe orang yang seperti saya sebutkan dalam tulisan saya yang lalu, orang yang berjiwa ii kagen da to ii wake bakari, yaitu orang yang pesimis, selalu menganggap anak buahnya tidak bisa apa-apa, dan siswa-siswanya malas belajar, tanpa pernah mengecek kebenarannya.
Untuk kepala sekolah yang seperti itu, maka sangat sulit mengubah kondisi sekolah untuk menjadi lebih baik. Saya teringat dengan cerita teman-teman yang pulang dari teacher training di Jepang, banyak dari mereka yang menghadapi masalah dengan atasan, tapi ada juga yang beruntung berhadapan dengan kepsek yang berjiwa anti kemapanan.
Bahwa kemajuan sekolah sangat tergantung dengan ujung tombak pimpinannya sudah tidak bisa kita bantah lagi. Banyak contoh yang membuktikan bagaimana sekolah yang berada di daerah marjinal bisa maju karena kecerdasan kepemimpinan kepala sekolahnya.
Rabu, 02 November 2016
Hukuman Yang Tidak Terasa
Seorang murid mengadu kepada gurunya:
_"Ustadz, betapa banyak kita berdosa kepada Allah dan tidak menunaikan hakNya sebagaimana mestinya, tapi saya kok tidak melihat Allah menghukum kita"_.
Sang Guru menjawab dengan tenang:
_"Betapa sering Allah menghukummu tapi engkau tidak terasa"_.
_"Sesungguhnya salah satu hukuman Allah yang terbesar yang bisa menimpamu wahai anakku, ialah: *Sedikitnya taufiq* (kemudahan) untuk mengamalkan ketaatan dan amal amal kebaikan"_.
Tidaklah seseorang diuji dengan musibah yang lebih besar dari *"kekerasan hatinya dan kematian hatinya"*.
_"Ustadz, betapa banyak kita berdosa kepada Allah dan tidak menunaikan hakNya sebagaimana mestinya, tapi saya kok tidak melihat Allah menghukum kita"_.
Sang Guru menjawab dengan tenang:
_"Betapa sering Allah menghukummu tapi engkau tidak terasa"_.
_"Sesungguhnya salah satu hukuman Allah yang terbesar yang bisa menimpamu wahai anakku, ialah: *Sedikitnya taufiq* (kemudahan) untuk mengamalkan ketaatan dan amal amal kebaikan"_.
Tidaklah seseorang diuji dengan musibah yang lebih besar dari *"kekerasan hatinya dan kematian hatinya"*.
Langganan:
Postingan (Atom)