Selasa, 22 September 2015

SAINS, PEMBELAJARAN DAN PROSES BERPIKIR



Pembelajaran abad ke-21 menuntut setiap orang untuk belajar dan berpikir, memfokuskan pada pengembangan kemampuan intelektual sehingga mampu menyesuaikan perubahan dan perkembangan jaman. Leward dan Hirata (2011) menyatakan bahwa outcome dalam pembelajaran abad 21 adalah memiliki keterampilan kecakapan hidup dan karir (life and career skills), yaitu kemampuan untuk mensintesis informasi, bekerja sebagai tim, untuk mengelola secara luas dan kompleks, dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan. Keterampilan dalam teknologi, media, dan informasi (information, media, and technology skills) adalah kemampuan untuk mengenali, menemukan dan melihat semua informasi dengan teknologi dan media sehingga bisa bermakna. Sedangkan keterampilan belajar kritis dan berinovasi (critical learning and innovation skills) adalah
kemampuan untuk memperjelas pemahaman terhadap suatu masalah sehingga menghasilkan inovasi dan keputusan yang logis.
Persaingan global dalam era digital membutuhkan lebih dari sekedar penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan juga penguasaan berbagai keterampilan meliputi keterampilan berpikir kritis, memecahkan masalah, mengkomunikasikan, bekerjasama, berkreasi, literasi, dan kesadaran mengenai isu-isu global (Kay, 2009; Silva, 2009; Walsh & Sattes, 2011). Abad 21 membutuhkan generasi pemikir kritis yang mampu memecahkan masalah serta berpartisipasi aktif mengambil keputusan terhadap isu-isu lokal dan global yang dibentuk melalui proses berpikir (Silva, 2009). Kemampuan berpikir kritis dapat dilatih melalui pembelajaran yang mengutamakan proses berpikir.
Proses berpikir adalah kegiatan yang melibatkan kerja otak, perasaan dan kehendak manusia yang dapat dilihat melalui pembelajaran yang berfokus pada aktivitas siswa, baik itu aktivitas visual, audio, kinestetik, maupun verbal. Pada proses berpikir, individu membuat hubungan antara objek yang menjadi pokok permasalahan dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimilikinya. Bagian dari pengetahuan adalah segala sesuatu yang sudah diperolehnya dalam wujud pengertian-pengertian. Menurut Benyamin Bloom (2001), proses berpikir dibedakan menjadi dua, yaitu :  kemampuan berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skills), yaitu kemampuan berpikir pada ranah C1-C3 dan Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skills), yaitu kemampuan berpikir pada ranah C4-C6. Proses berpikir ini dibuat dalam bentuk taksonomi yang terdiri dari pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan mencipta (C6).
Pentingnya kemampuan berpikir tingkat tinggi diungkapkan oleh Peter (2012) agar dapat bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi, siswa harus memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir tingkat tinggi (kritis) merupakan kemampuan untuk menganalisis fakta, mengorganisasi ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, membangun suatu kesimpulan, mengevaluasi argumen, dan menyelesaikan masalah (Wenno, 2008). Kemampuan dalam berpikir tingkat tinggi (kritis) memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat, oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah atau pencarian solusi belajar.
Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan pendekatan saintifik, yaitu proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar  peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip serta dilibatkan dalam proses berpikir (student centered). Hal ini sejalan dengan Permendikbud No 81 Tahun 2013 tentang implementasi kurikulum, bahwa kebutuhan kompetensi masa depan yang diperlukan oleh peserta didik adalah kemampuan berkomunikasi, kreatif, dan berpikir kritis (Kemendikbud, 2013).
Reformasi proses pembelajaran memerlukan subtansi yang mendukungnya, dalam hal inilah sekolah memerlukan model pembelajaran yang dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (kritis) serta mendukung penerapan Kurikulum 2013. Model-model pembelajaran tersebut, yaitu discovery, inquiry, project based learning dan problem based learning. Karakteristik model pembelajaran dengan pendekatan saintifik ini adalah pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan hipotesis), mengumpulkan data/informasi dengan berbagai teknik, mengolah/menganalisis data/informasi dan menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan hasil yang terdiri dari kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Langkah-langkah tersebut dapat dilanjutkan dengan kegiatan mencipta. Dengan penerapan model-model tersebut di sekolah diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi sesuai apa yang diamanatkan dalam Kurikulum 2013.
Sudah menjadi permasalahan yang kompleks di setiap instansi pendidikan kita ketika melihat pendahuluan pembelajaran serta proses pembelajaran yang terkonsep dengan baik akan tetapi pada tataran aplikatif masih banyak kekurangan di sana dan sini serta peran evalusi masih sangat kurang diperhatikan sehingga peran pembelajaran yang berlandaskan saintis sangat dibutuhkan oleh seorang pendidik. Kebiasaan pendidik dalam melakukan evaluasi akhir (penilaian) siswa yang hanya mengukur tingkat kemampuan yang rendah saja mengakibatkan lemahnya keterampilan siswa dalam berpikir, dan hanya terampil dalam menghapal (Johnson & Harris, 2002). Penilaian  merupakan istilah umum yang mencakup keseluruhan prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang hasil belajar siswa (pengamatan, peringkat, pengujian menggunakan kertas dan pensil) dan membuat penilaian mengenai proses pembelajaran (Gronlund & Linn, 1995). Proses penilaian  sangat baik dan efektif apabila prinsip-prinsip berikut diperhatikan, yaitu : 1) Menentukan secara jelas apa yang diakses memiliki prioritas dalam proses penilaian. 2) Relevansinya terhadap karakteristik atau kinerja yang diukur. 3) Komprehensif sesuai dengan prosedur. 4) Membutuhkan suatu kesadaran keterbatasannya. 5) Merupakan suatu makna terakhir, bukan suatu makna terakhir dalam dirinya-sendiri (Gronlund & Linn, 1995). Dengan penilaian, guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan dengan teman-temannya (Rusfidra, 2006). Semua tindakan, proses serta hasil dalam suatu proses pemikiran sains yang tertanam dalam jiwa siswa secara sadar akan memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang kemajuan pembelajaran sains dewasa ini. Mungkin proses-proses yang dirasakan dalam pembelajaran itu tidak mempunyai arti penting jika dipandang dari segi diri sendiri, akan tetapi dari sudut pandang historis merupakan kejadian spektakuler yang pernah mereka capai. Dengan demikian kita mendapat kesadaran yang lebih baik akan kebenaran pengetahuan manusia tentang sains modern sebagai perkembangan dari sains secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar