Pembelajaran abad ke-21 menuntut setiap orang untuk belajar dan berpikir,
memfokuskan pada pengembangan kemampuan intelektual sehingga mampu menyesuaikan
perubahan dan perkembangan jaman. Leward dan Hirata (2011) menyatakan bahwa outcome dalam pembelajaran abad 21 adalah memiliki keterampilan
kecakapan hidup dan karir (life and
career skills), yaitu kemampuan untuk mensintesis
informasi, bekerja sebagai tim, untuk mengelola secara luas dan kompleks, dan
bertanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan. Keterampilan dalam teknologi, media, dan informasi (information, media, and technology skills) adalah kemampuan
untuk mengenali, menemukan dan melihat semua informasi dengan teknologi dan
media sehingga bisa bermakna. Sedangkan keterampilan
belajar kritis dan berinovasi (critical
learning and innovation skills) adalah
kemampuan untuk memperjelas pemahaman terhadap suatu masalah sehingga menghasilkan inovasi dan keputusan yang logis.
kemampuan untuk memperjelas pemahaman terhadap suatu masalah sehingga menghasilkan inovasi dan keputusan yang logis.
Persaingan global dalam
era digital membutuhkan lebih dari sekedar penguasaan ilmu pengetahuan,
melainkan juga penguasaan berbagai keterampilan meliputi keterampilan berpikir
kritis, memecahkan masalah, mengkomunikasikan, bekerjasama, berkreasi,
literasi, dan kesadaran mengenai isu-isu global (Kay, 2009; Silva, 2009; Walsh
& Sattes, 2011). Abad 21 membutuhkan generasi pemikir kritis yang mampu
memecahkan masalah serta berpartisipasi aktif mengambil keputusan terhadap
isu-isu lokal dan global yang dibentuk melalui proses berpikir (Silva, 2009).
Kemampuan berpikir kritis dapat dilatih melalui pembelajaran yang mengutamakan
proses berpikir.
Proses berpikir adalah kegiatan
yang melibatkan kerja otak, perasaan dan kehendak manusia yang dapat dilihat
melalui pembelajaran yang berfokus pada aktivitas siswa, baik itu aktivitas
visual, audio, kinestetik, maupun verbal. Pada proses berpikir, individu
membuat hubungan antara objek yang menjadi pokok permasalahan dengan bagian-bagian
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Bagian dari pengetahuan adalah segala
sesuatu yang sudah diperolehnya dalam wujud pengertian-pengertian. Menurut
Benyamin Bloom (2001), proses berpikir dibedakan menjadi dua, yaitu : kemampuan berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skills), yaitu
kemampuan berpikir pada ranah C1-C3 dan Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skills), yaitu
kemampuan berpikir pada ranah C4-C6. Proses berpikir ini dibuat dalam bentuk
taksonomi yang terdiri dari pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3),
analisis (C4), evaluasi (C5), dan mencipta (C6).
Pentingnya kemampuan
berpikir tingkat tinggi diungkapkan oleh Peter (2012) agar dapat bersaing dalam
dunia kerja dan kehidupan pribadi, siswa harus memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan
berpikir tingkat
tinggi (kritis) merupakan kemampuan
untuk menganalisis fakta, mengorganisasi ide, mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membangun suatu kesimpulan, mengevaluasi argumen, dan menyelesaikan masalah
(Wenno, 2008). Kemampuan dalam berpikir tingkat tinggi (kritis) memberikan
arahan yang tepat dalam berpikir dan membantu dalam menentukan keterkaitan
sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat, oleh sebab itu kemampuan
berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah atau pencarian solusi
belajar.
Kemampuan berpikir kritis
dapat ditingkatkan dengan pendekatan saintifik, yaitu proses
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara
aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip serta dilibatkan dalam proses berpikir (student centered). Hal ini sejalan dengan
Permendikbud No 81 Tahun 2013
tentang implementasi kurikulum, bahwa
kebutuhan kompetensi masa depan yang
diperlukan oleh peserta didik adalah
kemampuan berkomunikasi,
kreatif, dan berpikir
kritis
(Kemendikbud,
2013).
Reformasi proses pembelajaran memerlukan
subtansi yang mendukungnya, dalam
hal inilah sekolah memerlukan model pembelajaran yang dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
(kritis) serta mendukung penerapan Kurikulum
2013. Model-model pembelajaran tersebut, yaitu discovery, inquiry, project based learning dan problem based learning. Karakteristik model pembelajaran dengan
pendekatan saintifik ini adalah
pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi
masalah yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan
hipotesis), mengumpulkan data/informasi dengan berbagai teknik,
mengolah/menganalisis data/informasi dan menarik kesimpulan dan
mengkomunikasikan hasil yang terdiri dari kesimpulan untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Langkah-langkah tersebut dapat dilanjutkan
dengan kegiatan mencipta. Dengan penerapan
model-model tersebut di sekolah diharapkan dapat meningkatkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi sesuai apa yang diamanatkan dalam Kurikulum 2013.
Sudah menjadi permasalahan yang kompleks di setiap
instansi pendidikan kita ketika melihat pendahuluan pembelajaran serta proses
pembelajaran yang terkonsep dengan baik akan tetapi pada tataran aplikatif
masih banyak kekurangan di sana dan sini serta peran evalusi masih sangat
kurang diperhatikan sehingga peran pembelajaran yang berlandaskan saintis
sangat dibutuhkan oleh seorang pendidik. Kebiasaan pendidik
dalam melakukan evaluasi akhir
(penilaian) siswa yang hanya mengukur
tingkat kemampuan yang rendah saja
mengakibatkan lemahnya
keterampilan siswa dalam
berpikir, dan hanya terampil dalam
menghapal (Johnson & Harris, 2002). Penilaian merupakan istilah umum yang mencakup
keseluruhan prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang hasil
belajar siswa (pengamatan, peringkat, pengujian menggunakan kertas dan pensil)
dan membuat penilaian mengenai proses pembelajaran (Gronlund & Linn, 1995). Proses penilaian
sangat baik dan
efektif apabila prinsip-prinsip berikut diperhatikan, yaitu :
1) Menentukan
secara jelas apa yang diakses
memiliki prioritas dalam proses penilaian. 2)
Relevansinya
terhadap karakteristik atau kinerja yang diukur. 3) Komprehensif sesuai
dengan
prosedur. 4) Membutuhkan
suatu kesadaran keterbatasannya. 5)
Merupakan
suatu makna terakhir, bukan suatu makna terakhir dalam dirinya-sendiri (Gronlund & Linn, 1995). Dengan penilaian, guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk
kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya jika
dibandingkan dengan teman-temannya (Rusfidra, 2006). Semua tindakan, proses serta hasil dalam suatu proses pemikiran sains
yang tertanam dalam jiwa siswa secara sadar akan memberikan pengertian yang
lebih mendalam tentang kemajuan pembelajaran sains dewasa ini. Mungkin
proses-proses yang dirasakan dalam pembelajaran itu tidak mempunyai arti
penting jika dipandang dari segi diri sendiri, akan tetapi dari sudut pandang
historis merupakan kejadian spektakuler yang pernah mereka capai. Dengan
demikian kita mendapat kesadaran yang lebih baik akan kebenaran pengetahuan
manusia tentang sains modern sebagai perkembangan dari sains secara
keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar