Adalah
sampul luar “the economist” (2004)
yang memajang judul Indonesia’s Shining
Muslim Democracy (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia). Setelah dengan
apresiasi tinggi mengikuti pilpres 2004 lalu Indonesia dicatat sebagai satu
bangsa muslim terbesar di jagat raya sedang bereksperimen tentang demokrasi
secara apik, sesuatu yang tidak terlalu diperkirakan sebelumnya.
Terlepas
dari berbagai pelanggaran yang ada di setiap daerah, kita juga harus
apresiasikan kerja keras rakyat Indonesia untuk menyukseskan pemilihan legislatif
(pileg). Jika kita lihat Indonesia dibandingkan dengan Negara Cina yang masih
saja takut bahwa demokrasi akan menciptakan keos di negeri raksasa itu, maka
Indonesia dapat membuktikan sejak tahun 2004 kepada dunia bahwa suatu contoh
hebat sebaliknya tentang proses demokratisasi yang damai
Minggu-minggu
ini gencar diberitakan hampir diseluruh media baik elekronik ataupun media
cetak terkait dengan seruan partai islam untuk bersatu baik itu disampaikan
para alim para ulama atau para organisasi keislaman lainnya dalam bingkai
Indonesia Raya. Bermacam acara di buat untuk memfasilitasi tokoh elit partai
islam untuk menyampaikan pendapat agar bisa menyamakan freme untuk Indonesia
kedepan. Apakah mungkin? Ya mungkin-mungkin saja, coba kita amati setelah
pengumuman resmi hasil pileg dari KPU Pusat.
Menilik
sejarah Indonesia merupakan Negara mayoritas muslim yang dengan tegas menolak
segala bentuk ekstrimisme. Banyak orang menyimpulkan bahwa demokrasi baik bagi
islam yang dirasa pengamatan tersebut tidaklah salah, bukankah kita kenal dulu
masyumi telah menjadi martir demi demokrasi berhadapan dengan demokrasi
terpimpin yang otoriterian . yang saya rasa tidak ada partai lain yang dapat
menyaingi dalam masalah kesetiaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Eksistensi
elite politik selalu terkait dengan persaingan kepentingan untuk “merebut” dan
“mempertahankan” kekuasaan. Dengan nada menyindir, Machiavelli menyebut para
elite yang bersaing dalam berebut kekuasaan itu sebagai singa dan rubah. Singa
disegani karena kekuatannya tetapi sering tidak waspada bila menghadapi
perangkap, sedangkan rubah sanggup menghadapi perangkap tetapi tidak dapat
membela diri dari serangan srigala. Begitulah keadaan partai-partai islam pada
pemilu kali ini. Sehingganya eksistensi elite partai sangat menentukan akankah
ada kesamaan visi yang harus disamakan dengan peluang yang terbuka lebar untuk
islam bisa bersatu. Atau hanya sebatas cuap
untuk bersatu. Mungkin juga meemihak ke jajaran partai nasionalis yang lebih
berpeluang untuk menjadi penguasa. Saya rasa konstelasi itu akan tetap terus
berjalan sesuai dengan kepentingan yang akan di dapat. Tak ada salahnya saya
melihat partai-partai islam dikaitkan juga dengan filosofi buah-buahan. untuk
saat ini saya masih melihat ada semangka dan kelapa. Mungkin nanti bisa saja
pisang atau mangga.
Akhirnya
kita semua tentu berharap dengan pemilu tahun ini dengan biaya pelaksanaan yang
tak sedikit (kurang lebih 40 triliyun) tidak lagi dijadikan panggung sandiwara
para politisi yang telah kehilangan kepekaan dan kepedulian atas jeritan
rakyat. Saya juga meyakini tidak ada jaminan juga bahawa proses demokrasi yang
telah lama kita jalankan kedepannya akan bisa bermanfaat bagi rakyat Indonesia
jika korupsi masih terus merajalela dan penegakan hukum serta keadilan yang
dikomersilkan. Dibutuhkan pemimpin yang visioner, negarawan dan berkeadilan. sehinganya
pemimpin itu menyadai bahwa “rajulun
yadrii wa yadrii annahu yadrii” (orang yang tahu dan tahu bahwa iya tahu)
Ahmad Walid
Mahasiswa
pascasarjana uns
Ka.div
intelejen P.CMB’s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar