Selasa, 30 Mei 2017

Terbuat Dari Apa Hati Nabi Ayub?

Terbuat dari apa hati nabi Ayub? hingga dia bisa bersabar menerima ujian dari Tuhannya tanpa mengeluh dan tanpa kehilangan persangkaan baik pada tuhannya.

Setelah dua puluh tahun Allah lebihkan padanya seluruh potensi kebaikan untuk beribadah dan seluruh kelebihan dalam ukuran manusia. Dia seorang yang punya perawakan fisik sempurna, seorang nabi, pengusaha kaya, memiliki pertanian subur, memiliki peternakan yang luas, dia menjadi raja bagi kaumnya, istri yang memenuhi semua ukuran kebaikan, dan anak-anak yang cerdas dan kuat.

Semuanya diambil dalam sebuah ujian yang diberikan tuhannya dalam hitungan hari, pertaniannya rusak karena badai, ternaknya mati, rumahnya terbakar; semua hartanya habis, anaknya meninggal semua, dia terkena penyakit kusta yang mengeluarkan bau busuk, dan terusir dari kaumnya sendiri. Yang tersisa darinya hanya sang istri yang masih setia menemaninya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub? Hingga dia pun malu untuk meminta pada tuhannya setelah semua cobaan itu.

"Wahai nabi Ayub, engkau ini seorang nabi yang didengar Allah. Berdoalah pada tuhanmu agar menyembuhkanmu dan memperbaiki keadaan ini" tanya sang istri.

"Aku malu dengan Tuhanku, aku sudah diberi berbagai macam kelebihan selama dua puluh tahun. Hanya dengan cobaan beberapa hari saja aku masih malu untuk berdoa" jawab nabi Ayub.

Dan dia memilih untuk bersabar dalam waktu yang tidak pendek. Dua puluh tahun dia bersabar dan bersahabat dengan penyakit yang dikirim Tuhannya sambil terus memuja tuhannya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Setelah dua puluh tahun menunggu, tiada keraguan sedikitpun pada hatinya tentang Maha Penyayangnya Allah pada dirinya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Dia tidak pernah berkeluh kesah "Ya Tuhan kami kenapa ini terjadi padaku" atau kalimat sejenis.

Tepat di hari dua puluh tahun masa tunggunya, dia berdoa pendek tanpa mengeluh sedikitpun tentang ujian yang dia alami dan tentang perlakuan Allah padanya.

وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّي مَسَّنِيَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Ingatlah kisah Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang"

Allah pun mendengar doa dari nabi Ayub dan mengangkat semua penyakitnya, memperbaiki keadaannya menjadi seperti muda kembali, menganugerahkan kembali padanya anak-anak yang kuat dan cerdas, melipatgandakan perbendaharaan harta dan pertaniannya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Ia terbuat dari keimanan yang lurus, keyakinan akan janji Allah yang tidak akan pernah menyia-yiakan hambanya yang beriman, dan keyakinan bahwa ujian dari Rabb Maha Penyayang adalah untuk sebuah kebaikan yang lebih besar untuknya.

Adakah kita tidak cemburu dengan nabi Ayub, kisah sikap dan pribadinya diabadikan hingga hari ini bahkan sampai kiamat datang. Allah tuliskan dalam kitab suci-Nya agar jadi pelajaran bagi orang-orang beriman.

Semoga Allah karuniakan orang-orang yang beriman hati sekuat dan setegar nabi Ayub yang selalu menjaga prasangka baik Rabbnya ketika diberi ujian.

"Teruslah bekerja dengan suka cita, jagalah semangat, dan berjuanglah sampai akhir"

Renungan hari ke empat

Minggu, 28 Mei 2017

SAJADAH BUKAN KAVLING SHOLAT

Entah sejak kapan dimulai, tetapi rasanya saya belum melihat sajadah besar di tahun 2004 ketika masih di bangku madrasah tsanawiyah. Sajadah-sajadah yang ada pada waktu itu lebih sempit, pas dengan ukuran tubuh orang-orang Indonesia.

Apa sebenarnya kegunaan sajadah?

Ketika sholat idul fitri pertama dalam rantawan, saya teringat akan keheranan saya karena banyak jamaah, yang membawa sajadah besar. Sementara saya hanya mempunyai satu helai sajadah yang pinggirannya mulai terurai benangnya. Beberapa jamaah bahkan tidak membawa sajadah, dan mereka santai saja menyusup di antara ibu-ibu yang bersajadah lebar, atau sholat tanpa sajadah. Jamaah laki-lakipun demikian.

Masjid sejatinya berasal dari kata “sajada” yang artinya bersujud. Adapun kata “masjid” tidak murni berasal dari bentukan kata sajada. Sebab, bentuk “maf’al” (tempat melakukan perbuatan) dari kata “sajada” adalah “masjadun” (yang berarti tempat sujud). Ada yang memprediksi bahwa kata masjid berasal dari bahasa Aram yang merupakan kelompok bahasa Semitik yang tergabung dalam keluarga bahasa-bahasa Afroasiatik. Kata Aram adalah nama sebuah wiayah di Syria. Dalam kosa kata bahasa Aram, terdapat istilah “masgid” yang bermakna tiang suci atau tempat penyembahan.

Lalu bagaimana dengan kata “sajadah” dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai alas sholat? Kata ini berasal dari bahasa Arab, “sajjaadatun” yang merupakan kata benda tunggal dalam bahasa Arab, dan bentuk jamaknya adalah “sajaajid”, yang artinya tempat sujud.

Salah satu persyaratan sholat adalah tempat sholat yang bersih. Sajadah menjadi salah satu penolong di kala kita akan sholat di tanah yang terbuka dan dikhawatirkan terdapat kotoran yang tercampur di sekitarnya. Masjid yang pada dasarnya sudah merupakan tempat yang bersih tidak memerlukan lagi hamparan sajadah. Lalu mengapa lantai-lantai masjid dipasangi karpet sajadah? Saya kira tujuannya adalah untuk menciptakan kenyamanan beribadah. Karena lantai masjid dibuat dari porselen yang terasa dingin atau sangat dingin ketika diduduki.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa sajadah bukan menjadi kavling mutlak kita untuk sholat, sehingga kita terhalang untuk bergeser merapatkan barisan sholat, dan atau enggan berpindah ke barisan lain yang kosong. Di masjid-masjid yang saya datangi, sering kali saya melihat anak-anak kecil membawa sajadah besar-besar, dan mereka berdiri pas di tengah, lalu orang-orang di sisi kanan kirinya tak mau bergeser merapat, karena menganggap sajadah adalah kavling solat.

Syarat sahnya sholat berjamaah adalah lurusnya barisan, merapatnya shaf, dan patuhnya jamaah pada aba-aba imam. Banyak hadits Rasulullah SAW yang mengingati kita untuk memperhatikan hal ini.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالُوا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ يُتِمُّونَ الصَّفَّ الْأَوَّلَ ثُمَّ يَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ

Dari Jabir bin Samurah ra, Rasulullah SAW keluar kepada kami lalu ia berkata: “Tidakkah kalian  berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Tuhan mereka?” Maka mereka berkata: “Dan bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Tuhan mereka?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan shaf yang pertama kemudian shaf yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan.” (HR Muslim, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah).

Dalam riwayat yang lain juga disebutkan :

عن أنس بن مالك : عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال “رصوا صفوفكم وقاربوا بينها وحاذوا بالأعناق فوالذي نفسي بيده إني لأرى الشيطان يدخل من خلل الصف كأنه الحذف” . قال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah SAW bersabda: “Luruskan shaf-shaf kalian, dekatkan jarak antaranya, dan sejajarkan bahu-bahu kalian! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing.” (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, dishohihkan oleh Imam Al-Albani)

عن النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُسَوِّى صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّى بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ « عِبَادَ اللَّهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ».

Dari Nu’man bin Basyir berkata, “Dahulu Rasullullah SAW meluruskan shaf kami sehingga seakan meluruskan anak panah, sehingga beliau menganggap kami telah paham terhadap apa yang beliau perintahkan kepada kami sampai rapi, kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) lalu beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda; “Wahai para hamba Allah, sungguh ratakanlah shaf kalian atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian.” (HR: Muslim)

عن أَنَس قَالَ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  بِوَجْهِهِ فَقَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ، فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى

Dari Anas bin Malik ra, ia mengatakan: “Telah dikumandangkan iqomat untuk sholat, lalu Rosulullah SAW menghadap kepada kami lalu bersabda: “Luruskan dan rapatkan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku.” (HR. Bukhari dan Muslim dan lafaz ini dari Imam Muslim).

عنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  قَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah SAW bersabda: “Luruskan shaf kalian! Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya.”

Dengan demikian, hal yang paling utama dalam sholat jamaah adalah rapat dan lurus. Posisi rapat dan lurus melambangkan kekokohan dan sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas, tujuannya adalah untuk mencegah masuknya syetan yang akan menimbulkan perselisihan di antara kita.

Oleh karena itu jangan pedulikan lebarnya sajadah kita, yang paling penting dalam beribadah adalah terpenuhinya rukun dan syaratnya, dan kemudian khusyuknya hati kita.

Renungan hari kedua