Sabtu, 01 Desember 2018

Seorang Asing Di Tengah NU

Sebagai dosen, Abdurrahman Wahid bukan saja sangat demokratis, tapi bingung menghadapi absen. Ketika usai kuliah dengannya, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta menyodorkan absen, ia terperangah. “Apa ini?” ia bertanya. Mahasiswa itu menjawab, “Ini daftar hadir dosen.” Dan ia menolak untuk menandatanganinya.

Suatu hari, ia menyerahkan sebuah artikel Reuvane Kahane kepada mahasiswa. Isinya tentang teori Islamisasi di Indonesia. Wahid meminta menguraikannya di depan kelas. Sikapnya yang semacam itu bukan saja baru di jurusan Sejarah pada waktu itu, tetapi juga diikuti oleh hal lain: ia tertidur ketika baru memasuki bagian tengah dari pembahasan artikel itu.

Wahid, Kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah NU, yang masa jabatannya akan berakhir di akhir Nopember, memang seorang yang “longgar”. Ia bukan saja tidak menyukai protokoler dan hal-hal yang bersifat resmi lainnya, tetapi juga baru bersepatu ketika menyambut kedatangan Presiden serta menteri-menterinya untuk membuka Muktamar NU pada 1984 lalu. Sebelumnya, sepatu sandal hampir tidak pernah lepas dari kakinya. Tapi, tentu saja “kelonggaran” sifat Wahid itu tidaklah hanya terbatas pada hal-hal protokoler. Melainkan juga melingkupi segi-segi konseptual dan intelektualnya. Latar belakang kosmopolit, kendati ia bersekolah di Baghdad, Irak, telah meletakkan dasar-dasar kelonggaran watak berpikirnya, bukan saja dalam hal-hal non-agama, tetapi juga dalam bidang keagamaan.

Andaikata Wahid tak lahir di Indonesia atau di negara-negara mayoritas beragama Islam, kelonggaran cara pikirnya itu pastilah mengantarkannya kepada sifat-sifat Ivan Illich atau Paulo Freire: para agamawan yang tak mau begitu saja terjebak dalam postulat-postulat agama di dalam berpikir. Dan Wahid, dalam batas-batas tertentu, adalah agamawan dan pemikir yang paling liberal di Indonesia, yang menurut saya, belum tertandingi oleh Nurcholish Madjid sekalipun.

Dari perspektif inilah mungkin kita bisa lebih mendekati dan di atas itu, memahami tindak-tanduk Wahid. Dengan keberaniannya yang luar biasa, ia menilai Hamka sebagai bukan ulama yang ‘sempurna'. Di matanya, tentu saja, Hamka menguasai ilmu fiqih. Tapi, hampir tak seorang pun ahli fiqih yang dimaksud, pasti dari kalangan pesantren datang kepadanya untuk mendiskusikan ilmu “tata aturan” keislaman itu. Hamka, juga di matanya, tidak pula terlalu berhasil sebagai juru sastra. Sastranya bersifat lokal, dan gagal merangkum tema-tema kemanusiaan yang universal Suatu penilaian yang membangkitkan rasa kejengkelan di kalangan banyak orang.

Toh, Wahid tidak berhenti hanya di situ. Ia pulalah pencetus pertama pribumisasi Islam. “Ledakan-ledakan” peristiwa keislaman dan politik di Indonesia, beberapa saat yang lalu, memberikan inspirasi “jalan tengah" baginya untuk mengemukakan “perdamaian ideologis” walau belum tentu “perdamaian teologis” -untuk masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.

“Islam,” ia berucap di Prisma, “janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia haruslah dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan kcindonesiaan yang telah terbentuk.” Konflik-konflik “Islam-Pemerintah” yang terjadi belakangan ini, menurut dia, akan terus terjadi karena penekanan sebagian kecil kalangan (yang disebutnya kelompok sempalan Islam), bahwa Islam adalah alternatif ideologis bagi masyarakat Indonesia. Antara lain, dalam konteks, “perdamaian ideologis” itu pulalah gagasan mempribumisasikan Islam ia tegakkan.

Percikan-percikan pemikirannya pastilah dinilai kontroversial. Bayangkan, bagaimana bisa ia mencetuskan gagasan untuk menambah asas keadilan sosial pada hukum Islam serta menyatakan kemungkinan ucapan selamat pagi, siang, atau malam menggantikan ucapan assalamu’alaikum? Suatu ide yang tidak bisa lagi disebutkan aneh, ujar seorang dosen senior Universitas Al-Asy’ari Jombang -sebuah perguruan tinggi agama yang justru berada di bawah kontrol pesantren Tebuireng, tempat Wahid dilahirkan dan dibesarkan.

Maka, Wahid mungkin merupakan “orang asing” di tengah tengah jamaah NU yang justru dipimpinnya Jamaah ini, bukan saja -sebagiiln besamya -berasal dari kalangan petani, tetapi juga telah terbiasa ‘terkungkung” dalam budaya keagamaan petani. Terikat juga dengan ucapan Saidina Ali, bahwa *Ia merupakan hamba dari orang Yang mengajarnya*, walau hanya satu kata -seperti tertera dalam kitab Ta'lim al-Muta’allim, salah satu kitab pegangan pokok warga NU. Lewat budaya petani yang sangat menekankan pada nilai nilai kolektivisme dalam beragama.

Dalam kolektivitas semacam ini, mereka tldak hanya dituntut tunduk secara mutlak kepada guru, tetapi juga terlarang mengembangkan nalar keagamaan yang bersifat “individualis”. Dalam beberapa hal. Walau telah terdapat tanda-tanda pencariannya pola pemikiran keagamaan NU terstrukturkan oleh pola perkauman pedesaan.

Maka, sang kiai yang duduk di puncak perkauman itu bukan saja berfungsi sebagai leading figure, tetapi juga seorang pengatur kekuasaan di kampung atau pesantrennya. filter terakhir yang menyeleksi arus gagasan ke dalam dan ke luar. Dan mereka yang berada di bawah kontrol sang kiai, terutama dalam hal pemikiran keagamaan, bukanlah pribadi-pribadi yang otonom. Mereka harus mengacukan pandangannya kepada tingkah laku dan format pemikiran sang kiai. Dan sang kiai ini akan merangkaikan pikirannya kepada kiai yang lebih besar, dan begitulah seterusnya. Suatu bentuk keagamaan terpimpin, tempat keharmonisan hubungan ingin tetap dipertahankan, sementara deviasi individual dielakkan.

Dalam format kolektivitas semacam inilah sosok Wahid menjadi aneh di mata mereka. Kehadirannya dalam kongres PGI di Surabaya menimbulkan teka-teki yang tak pernah terjawab sampai dengan kewafatannya.

_Sementara mereka merasa terikat dalam kolektivisme, Wahid terbang sendiri. Dan, dengan ringan, hinggap di dahan-dahan atau Pucuk-pucuk pohon mana pun. Padahal, pohon itu bukan pohon yang mereka kenal sejak dini lewat budaya serta amalan dalam tradisi masyarakatnya_ * *lahumul fatihah*..

Ahmad Walid
*anak bawang di PWNU Bengkulu_

Minggu, 04 Juni 2017

Kebebasan Berpuasa

Filosofi puasa adalah bertujuan untuk mengenali diri dan menguasai diri serta untuk mendisiplinkan diri agar menjadi lebih baik dan akhirnya kita terbebas dari ikatan yang harusnya tak perlu digantungkan pada diri kita.

Kenali-kuasai-disiplinkan

Renungan hari ke delapan

Selasa, 30 Mei 2017

Terbuat Dari Apa Hati Nabi Ayub?

Terbuat dari apa hati nabi Ayub? hingga dia bisa bersabar menerima ujian dari Tuhannya tanpa mengeluh dan tanpa kehilangan persangkaan baik pada tuhannya.

Setelah dua puluh tahun Allah lebihkan padanya seluruh potensi kebaikan untuk beribadah dan seluruh kelebihan dalam ukuran manusia. Dia seorang yang punya perawakan fisik sempurna, seorang nabi, pengusaha kaya, memiliki pertanian subur, memiliki peternakan yang luas, dia menjadi raja bagi kaumnya, istri yang memenuhi semua ukuran kebaikan, dan anak-anak yang cerdas dan kuat.

Semuanya diambil dalam sebuah ujian yang diberikan tuhannya dalam hitungan hari, pertaniannya rusak karena badai, ternaknya mati, rumahnya terbakar; semua hartanya habis, anaknya meninggal semua, dia terkena penyakit kusta yang mengeluarkan bau busuk, dan terusir dari kaumnya sendiri. Yang tersisa darinya hanya sang istri yang masih setia menemaninya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub? Hingga dia pun malu untuk meminta pada tuhannya setelah semua cobaan itu.

"Wahai nabi Ayub, engkau ini seorang nabi yang didengar Allah. Berdoalah pada tuhanmu agar menyembuhkanmu dan memperbaiki keadaan ini" tanya sang istri.

"Aku malu dengan Tuhanku, aku sudah diberi berbagai macam kelebihan selama dua puluh tahun. Hanya dengan cobaan beberapa hari saja aku masih malu untuk berdoa" jawab nabi Ayub.

Dan dia memilih untuk bersabar dalam waktu yang tidak pendek. Dua puluh tahun dia bersabar dan bersahabat dengan penyakit yang dikirim Tuhannya sambil terus memuja tuhannya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Setelah dua puluh tahun menunggu, tiada keraguan sedikitpun pada hatinya tentang Maha Penyayangnya Allah pada dirinya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Dia tidak pernah berkeluh kesah "Ya Tuhan kami kenapa ini terjadi padaku" atau kalimat sejenis.

Tepat di hari dua puluh tahun masa tunggunya, dia berdoa pendek tanpa mengeluh sedikitpun tentang ujian yang dia alami dan tentang perlakuan Allah padanya.

وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّي مَسَّنِيَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Ingatlah kisah Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang"

Allah pun mendengar doa dari nabi Ayub dan mengangkat semua penyakitnya, memperbaiki keadaannya menjadi seperti muda kembali, menganugerahkan kembali padanya anak-anak yang kuat dan cerdas, melipatgandakan perbendaharaan harta dan pertaniannya.

Terbuat dari apa hati nabi Ayub?
Ia terbuat dari keimanan yang lurus, keyakinan akan janji Allah yang tidak akan pernah menyia-yiakan hambanya yang beriman, dan keyakinan bahwa ujian dari Rabb Maha Penyayang adalah untuk sebuah kebaikan yang lebih besar untuknya.

Adakah kita tidak cemburu dengan nabi Ayub, kisah sikap dan pribadinya diabadikan hingga hari ini bahkan sampai kiamat datang. Allah tuliskan dalam kitab suci-Nya agar jadi pelajaran bagi orang-orang beriman.

Semoga Allah karuniakan orang-orang yang beriman hati sekuat dan setegar nabi Ayub yang selalu menjaga prasangka baik Rabbnya ketika diberi ujian.

"Teruslah bekerja dengan suka cita, jagalah semangat, dan berjuanglah sampai akhir"

Renungan hari ke empat

Minggu, 28 Mei 2017

SAJADAH BUKAN KAVLING SHOLAT

Entah sejak kapan dimulai, tetapi rasanya saya belum melihat sajadah besar di tahun 2004 ketika masih di bangku madrasah tsanawiyah. Sajadah-sajadah yang ada pada waktu itu lebih sempit, pas dengan ukuran tubuh orang-orang Indonesia.

Apa sebenarnya kegunaan sajadah?

Ketika sholat idul fitri pertama dalam rantawan, saya teringat akan keheranan saya karena banyak jamaah, yang membawa sajadah besar. Sementara saya hanya mempunyai satu helai sajadah yang pinggirannya mulai terurai benangnya. Beberapa jamaah bahkan tidak membawa sajadah, dan mereka santai saja menyusup di antara ibu-ibu yang bersajadah lebar, atau sholat tanpa sajadah. Jamaah laki-lakipun demikian.

Masjid sejatinya berasal dari kata “sajada” yang artinya bersujud. Adapun kata “masjid” tidak murni berasal dari bentukan kata sajada. Sebab, bentuk “maf’al” (tempat melakukan perbuatan) dari kata “sajada” adalah “masjadun” (yang berarti tempat sujud). Ada yang memprediksi bahwa kata masjid berasal dari bahasa Aram yang merupakan kelompok bahasa Semitik yang tergabung dalam keluarga bahasa-bahasa Afroasiatik. Kata Aram adalah nama sebuah wiayah di Syria. Dalam kosa kata bahasa Aram, terdapat istilah “masgid” yang bermakna tiang suci atau tempat penyembahan.

Lalu bagaimana dengan kata “sajadah” dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai alas sholat? Kata ini berasal dari bahasa Arab, “sajjaadatun” yang merupakan kata benda tunggal dalam bahasa Arab, dan bentuk jamaknya adalah “sajaajid”, yang artinya tempat sujud.

Salah satu persyaratan sholat adalah tempat sholat yang bersih. Sajadah menjadi salah satu penolong di kala kita akan sholat di tanah yang terbuka dan dikhawatirkan terdapat kotoran yang tercampur di sekitarnya. Masjid yang pada dasarnya sudah merupakan tempat yang bersih tidak memerlukan lagi hamparan sajadah. Lalu mengapa lantai-lantai masjid dipasangi karpet sajadah? Saya kira tujuannya adalah untuk menciptakan kenyamanan beribadah. Karena lantai masjid dibuat dari porselen yang terasa dingin atau sangat dingin ketika diduduki.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa sajadah bukan menjadi kavling mutlak kita untuk sholat, sehingga kita terhalang untuk bergeser merapatkan barisan sholat, dan atau enggan berpindah ke barisan lain yang kosong. Di masjid-masjid yang saya datangi, sering kali saya melihat anak-anak kecil membawa sajadah besar-besar, dan mereka berdiri pas di tengah, lalu orang-orang di sisi kanan kirinya tak mau bergeser merapat, karena menganggap sajadah adalah kavling solat.

Syarat sahnya sholat berjamaah adalah lurusnya barisan, merapatnya shaf, dan patuhnya jamaah pada aba-aba imam. Banyak hadits Rasulullah SAW yang mengingati kita untuk memperhatikan hal ini.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالُوا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ يُتِمُّونَ الصَّفَّ الْأَوَّلَ ثُمَّ يَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ

Dari Jabir bin Samurah ra, Rasulullah SAW keluar kepada kami lalu ia berkata: “Tidakkah kalian  berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Tuhan mereka?” Maka mereka berkata: “Dan bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Tuhan mereka?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan shaf yang pertama kemudian shaf yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan.” (HR Muslim, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah).

Dalam riwayat yang lain juga disebutkan :

عن أنس بن مالك : عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال “رصوا صفوفكم وقاربوا بينها وحاذوا بالأعناق فوالذي نفسي بيده إني لأرى الشيطان يدخل من خلل الصف كأنه الحذف” . قال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah SAW bersabda: “Luruskan shaf-shaf kalian, dekatkan jarak antaranya, dan sejajarkan bahu-bahu kalian! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing.” (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, dishohihkan oleh Imam Al-Albani)

عن النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُسَوِّى صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّى بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ « عِبَادَ اللَّهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ».

Dari Nu’man bin Basyir berkata, “Dahulu Rasullullah SAW meluruskan shaf kami sehingga seakan meluruskan anak panah, sehingga beliau menganggap kami telah paham terhadap apa yang beliau perintahkan kepada kami sampai rapi, kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) lalu beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda; “Wahai para hamba Allah, sungguh ratakanlah shaf kalian atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian.” (HR: Muslim)

عن أَنَس قَالَ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  بِوَجْهِهِ فَقَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ، فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى

Dari Anas bin Malik ra, ia mengatakan: “Telah dikumandangkan iqomat untuk sholat, lalu Rosulullah SAW menghadap kepada kami lalu bersabda: “Luruskan dan rapatkan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku.” (HR. Bukhari dan Muslim dan lafaz ini dari Imam Muslim).

عنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  قَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah SAW bersabda: “Luruskan shaf kalian! Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya.”

Dengan demikian, hal yang paling utama dalam sholat jamaah adalah rapat dan lurus. Posisi rapat dan lurus melambangkan kekokohan dan sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas, tujuannya adalah untuk mencegah masuknya syetan yang akan menimbulkan perselisihan di antara kita.

Oleh karena itu jangan pedulikan lebarnya sajadah kita, yang paling penting dalam beribadah adalah terpenuhinya rukun dan syaratnya, dan kemudian khusyuknya hati kita.

Renungan hari kedua

Senin, 03 April 2017

NU dan Falsafah Wasathan

7 Agustus 1949, SM. Kartosuwirjo  memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesa. Banyak faktor yang membuat dirinya memutuskan aksi tersebut, antara lain, karena beberapa perjanjian yang merugikan republik, seperti Linggarjati dan Renville. Pemerintah dianggap tidak becus dan menghianati rakyat. Kelak, aksinya mendapatkan dukungan dari para panglima lokal yang kecewa dengan Bung Karno, Daud Beureueh di Aceh, Amir Fatah di Jawa Tengah & Kahar Muzakkar di Makassar.

DI/TII berusaha menggaet dukungan Masyumi, termasuk NU di masih bergabung dalam partai politik Islam ini. Semua kiai NU maupun ormas yang sealiran dengan NU menolak DI/TII dan menganggapnya sebagai tindakan bughat/ berontak yang dilarang Islam. Tak mau kalah, beberapa serdadu DI/TII melakukan aksi sepihak dengan cara sabotase dukungan ulama. KH. Yusuf Tauziri, ulama kharismatik dari Garut yang juga pemimpin Hizbullah, diminta bergabung. Beliau menolak. Gerilyawan DI/TII memberondong pesantren miliknya, total ada 17 kali gempuran yang mengakibatkan kerusakan berat. Beberapa santri gugur. Pesantren Darussalam, Cipari, kemudian dipindahkan ke Wanaraja, tak jauh dari lokasi awal, pada 1952.

Ironisnya, Kartosuwiryo dulu mengaji kepada Kiai Yusuf, dan menjadi penasehat spiritualnya di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tapi, perbedaan sudut pandang membuat murid gelap mata. Gagal membujuk Kiai Yusuf, yang tampaknya akan dijadikan semacam "pemimpin spiritual" atau mufti, DI/TII mengalihkan target. Kali ini, KH. Ruchiyat, pemimpin pesantren Cipasung, Tasikmalaya, menjadi target aksi. Beliau ditawari menjadi mufti, tapi menolak. Beberapa serdadu DI/TII kemudian menyediakan tandu untuk menculiknya dan memaksa beliau ikut bergerilya di hutan. Ayah KH. Ilyas Ruchiyat (Rais Aam Syuriah PBNU, 1992-1999) ini tetap bersikukuh menolak. Akhirnya, beliau menantang para gerilyawan ini. Caranya, beliau duduk di dalam tandu lalu mempersilahkan rombongan untuk untuk mengusungnya. Aneh, meski sudah diangkat beberapa orang, tandu tak bergerak seincipun, seolah menancap dalam tanah. Ajengan Ruchiyat masih tetap duduk dalam tandu dengan santai. Setelah itu, rombongan ini undur diri dan masuk hutan lagi.

Karena enggan mendukung DI/TII, NU dituduh pemecah belah ummat, penjilat Soekarno, dan alergi syariat Islam (lihat, bukankah tuduhan ini awet hingga saat ini?). Tuduhan ini semakin santer pada saat NU memilih keluar dari Masyumi, 1952, dan menjadi partai politik. Langkah ini bukan hanya mendapatkan kritikan pedas dari Non-NU, dari internal pun nggak yakin jika Partai NU bisa eksis. KH. A. Wahab Chasbullah, Rais Aam PBNU, cuek. Dengan persiapan 3 tahun, Partai NU mampu masuk kwartet pemenang Pemilu 1955: PNI, Masyumi, NU, & PKI.

Masih berkaitan dengan DI/TII. Setelah Kartosuwiryo memproklamirkan negara versinya, umat Islam kebingungan: manakah imam/waliyyul amri yang harus saya ikuti? Bung Karno dengan republiknya atau SM Kartosuwiryo dengan Darul Islam-nya? Kubu NU dengan tegas memilih yang pertama dengan cara membuat manuver dalam konferensi para ulama di Cipanas, 1954, yang dipimpin oleh KH. Masykur, Menteri Agama yang juga mantan Panglima Sabilillah, dengan memberi gelar "waliyyul amri ad-dharuri bisy syaukah" Keputusan ini mengukuhkan Bung Karno sebagai kepala negara yang sah secara fiqh, dan oleh karena itu harus dipatuhi semua umat Islam. Kiai Wahab menjelaskan dalam sidang parlemen menggunakan kacamata fiqh: pertama, Bung Karno muslim, shalat, menikah dengan cara Islam dan disumpah dengan cara Islam pula. Kedua, pemerintah tidak melarang umat Islam menjalankan ibadahnya juga tidak memerintahkan kemaksiatan dan kemungkaran. Ketiga, mengapa ada istilah "dhaduri" (darurat) dalam gelar waliyyul amri bagi Bung Karno? Sebab klasifikasi imam al-a'dzam (pemimpin agung) dengan kualifikasi mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi.

Keempat, dalam pidatonya di Parlemen, 29 Maret 1954, Kiai Wahab juga menjelaskan apabila rakyat belum mau mengakui dari sudut pandang agama, bahwa pemerintah Bung Karno adalah pemerintahan yang sah meskipun darurat, niscaya akan muncul bermacam-macam waliyyul amri untuk sendiri-sendiri.

Kelima, dalam kacamata fiqh, muslimah yang tidak mempunyai wali nasab perlu kawin di depan wali hakim (tauliyah). Yang berhak mengangkat hakim adalah pemimpin negara yang legitimatif secara Islam. Dengan gelar ini maka Bung Karno sudah diberi kekuasaan (syaukah) untuk menunjuk hakim melalui Departemen Agama.

Sekadar catatan. Gagasan tentang Waliyyul Amri Ad-Dharuri bisy-Syaukah berasal dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1952 melalui Menteri Agama, Fakih Usman sebagai Menteri Agama (berasal dari partai Masyumi). Departemen Agama melalui Menteri Agama mengeluarkan kebijakan tentang “Tauliyah Wali Hakim” pada tahun 1952, yang diatur dalam surat Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1952. Surat Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1952 berisi tentang kewewenangan Menteri Agama untuk melakukan tauliyah (pengangkatan) Wali Hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali nikah.
----
Dengan legitimasi yang kuat, Bung Karno pun telah kukuh statusnya sebagai presiden RI dalam tinjauan fiqh. Tak ada dualisme kepemimpinan dalam republik ini. Siapapun yang melakukan gerakan angkat senjata bisa dikategorikan sebagai tindakan bughat (berontak). Era 1950-an adalah fase tergenting republik ini. Banyak suara ketidakpuasan terhadap Bung Karno yang dimulai dengan angkat senjata: DI/TII, PRRI/PERMESTA, gabungan DEWAN BANTENG, GARUDA & GAJAH di Sumatera dll. Semua ditumpas oleh Bung Karno.

Tawassuth dalam Politik, Tawazun dalam Manuver

Yang menarik, di era Kiai Wahab ini NU banyak melakukan gerakan lincah yang mengimbangi kontelasi politik yang cenderung liar saat itu. Ini wujud doktrin TAWASSUTH (tengah-tengah) & TAWAZUN (penyeimbang) yang selama ini dianut. Ketika Masyumi dan PSI menolak bergabung dalam  Kabinet Ali Sastroamijoyo yang kekiri-kirian, 1953, NU masuk menjadi penyeimbang faksi nasionalis dan kiri yang mendominasi.

Ketika Bung Karno membuat gagasan NASAKOM, Masyumi ogah masuk, tapi NU bergabung mawakili unsur agama. Tujuannya: menyeimbangi manuver PKI dan nasionalis garis keras di sekitar Bung Karno. Kalau kedua kubu ini dibiarkan berhadap-hadapan tanpa pencegah, kondisi perpolitikan akan semakin liar. Resikonya, Kiai Wahab Chasbullah dituduh penjilat Soekarno, Kiai Nasakom, Kiai Palu Arit dan tuduhan kasar lainnya. Seorang petinggi Masyumi bahkan dengan sinis berkata, : :"....apabila tempurung kepala Kiai Wahab kita belah niscaya kita dapati palu arit di dalamnya." Wuih. Bagaimana reaksi ulama yang juga pahlawan nasional ini? Cuek!

Ketika kemudian Bung Karno membubarkan konstituante dan membentuk kabinet Gotong Royong, 1960, NU kembali bergabung. Tujuannya, kata Kiai Wahab, masuk dulu, kalau nggak cocok keluar. Simpel. Langkah ini membuat NU masuk dalam percaturan politik rumit: angkatan darat yang menguat di bawah Nasution, PKI yang semakin stabil di bawah Aidit. Pada saat Bung Karno mengganti Jenderal AH. Nasution dengan jenderal kesayangannya, Ahmad Yani, sebagai KASAD, saat itu pula Nasution dengan posisi baru Kepala Staff ABRI, tak punya komando penuh atas pasukan. Di sisi lain, Yani yang sangat anti-komunis menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi).

Bagaimana sikap NU? Mereka mengimbangi manuver ini dengan cara membentuk Barisan Ansor Serbaguna (BANSER), 1962. Tindakan yang diambil ini merupakan reaksi atas langkah dua kubu: kubu TNI AD yang menyerukan isu wajib militer untuk mendukung konfrontasi dengan Malaysia, dan kubu PKI yang mengipasi Bung Karno agar membentuk angkatan kelima (rakyat yang dipersenjatai). Selain ini, dalam suasana yang memanas, pembentukan Banser juga untuk menghadapi konfrontasi terbuka dengan Pemuda Rakyat PKI dan Barisan Tani PKI yang beberapa kali terjadi di beberapa daerah.

Fungsi penyeimbang politik juga terjadi pada saat Aidit membisiki Bung Karno agar membubarkan HMI, setelah pemimpin besar itu sudah membuyarkan Masyumi beberapa tahun sebelumnya. Melihat gelagat ini, KH. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama sekaligus sekjend PBNU, menolak dengan menyodorkan berbagai argumentasi. Bung Karno pun tidak jadi membubarkan organisasi kemahasiswaan ini.

Saya masih mencukupi ulasan ini sampai di sini, masih banyak yang sebenarnya ingin saya ulas soal manuver politik NU di era Bung Karno dan di zaman Orde Baru, di mana NU mendapatkan perlakuan yang sangat tidak menyenangkan dari pemerintah. Lain kali sajalah, saya capek ngetik pakai hape. Hahaha
----
Setia pada rel politik kebangsaan itu tidak mudah, sebab (selalu) ada oknum dalam tubuh NU yang ingin menyeret ormas ini ke dalam politik recehan. Tapi, bisa dilihat, mereka yang menyeret NU pada politik recehan, biasanya nggak bertahan lama, lalu terpental.

Yang pasti, sejak awal berdiri, banyak langkah politik NU yang tidak mudah dipahami, khususnya pada zaman Jepang, era Orde Lama, Orde Baru hingga kini.  Sebaliknya langkah-langkah politik NU lebih banyak disalahpahami, bahkan oleh orang NU sendiri. Namun, biasanya, langkah catur politik ini baru bisa dipahami setelah beberapa tahun berlalu. Sebagaimana kata KH. Dimyathi Rois, politik itu jangan diomongkan di publik, tapi dilaksanakan dengan cerdik tanpa banyak omong, sebab kalau diomongkan di publik itu namanya pengumuman.